Rabu, 14 Maret 2012

HUJAN DI HARI RABU

Aku masih terpaku memandangi lampu kota terbangun dari tidurnya, ketika beberapa sinar mengintip dari jelega gulita.
“Hari ini indah” katanya
kemudian dia tertawa ketika melihat rintik hujan terus bergelayutan manja dalam dekapan angin yang jelas-jelas tengah membelai manja rambutku. Akupun hanya bisa tersenyum dalam dekapannya. Ku bisikkan pada mereka tentang segala rasaku..
ketika hujan di hari rabu memperkenalkanku pada sesuatu yang dapat ku gambarkan dengan satu kalimat yang tak dapat dimengerti. Kemudian mereka memintaku untuk menceritakan tentang hari itu..
aku tertawa geli melihat mereka tampak tak sabar mendengar sesuatu keluar dari mulutku.. aku pun mencoba mengingatnya, mengingat hari itu...

hujan turun deras ketika baru saja ku langkahkan kaki meninggalkan gerbang sekolah yang menjulang tinggi. Aku mempercepat langkah kaki menuju sebuah halte di seberang jalan. Namun ketika aku telah sampai di depannya, aku hanya dapat mengerutkan dahi karena tempat itu telah di penuhi oleh anak-anak sekolah,ibu-ibu,bapak-bapak dan segala macam barang yang mereka bawa.
Tiba-tiba saja ada yang menarik tanganku dan mengajakku berlari ke suatu tempat tak jauh dari halte. Ketika kami berlari, aku hanya dapat memandangi punggungnya basah terjamah oleh hujan siang ini.
Sesaat kemudian aku telah sampai dalam lindungan sebuah pohon besar. Lega rasanya ketika merasakan hanya ada beberapa tetes air saja yang dapat menjangkau tubuhku. Kuusap bajuku yang basah dengan sapu tangan pemberian almarhummah nenek tersayang, hasilnya cukup membantu mengeringkan. Ku lihat hujan hari ini turun dengan derasnya, seperti sedang marah padaku.
Hemh..Hampir saja aku melupakan seseorang di sampingku. Ku lirik perlahan raut wajahnya..
“matanya, hidungnya,mulutnya.. apa aku mengenalnya? Sepertinya tidak” pikirku
Ku lirik lagi untuk memastikan, namun masih sama.. aku yakin aku tidak mengenalnya.
aku menunggunya mengatakan sesuatu, tapi 15 menit berdiri di tempat ini tidak membuatnya ingin mencairkan suasana. Dia beranjak dari tempatnya berdiri dan menggeser tempatnya untukku. Ya.. ku rasakan tetesan air dari langit tak menyentuhku lagi.
“terimakasih..” gumamku dalam hati
“aku Rama, kelas XI IA 2.” Akhirnya, dia berbicara
Hampir saja aku menganggapnya manekin yang sedang kabur dari pemiliknya. Ternyata dia hanya seorang siswa kelas sebelah.
“o.. aku Icha, kelas XI IA 4.” Kataku
“ya.. aku tau.” Jawabnya singkat
“kamu tau?” tanyaku heran
Tidak ada jawaban, dia hanya terdiam dan sedikit tersenyum. Aku yakin bukan sedikit, tapi sedikit sekali dan hampir tidak tersenyum.
“ terimakasih ” kataku
“ya!” jawabnya singkat. Kemudian kembali dalam kediamannya lagi.
“menyebalkan..” pikirku
Lama.... terdiam sampai akhirnya dia berlari menantang ganasnya hujan yang tengah mengintaiku.
Aku semakin kesal di buatnya, lelaki yang menyebut dirinya “Rama” itu. Masih terus ku pandangi hingga dia tertelan tikungan di ujung jalan.
Ketika kedua bola mata ini tertuju pada sesuatu, kekesalanku berangsur hilang. Sebuah payung dan jamper tergeletak tak berdaya di tempat laki-laki tadi berdiri. Ada sebuah kertas di atasnya.. huruf demi huruf ku coba artikan.
Tulisannya begini.. “cepet di balikin !! ”
aku tersenyum dan segera memakainya lalu pergi.
Di sepanjang perjalanan aku hanya memikirkan tentang lelaki itu. Sikapnya membuatku hampir terkena hepotermia. Sangat...sangat dingin. Tapi di sisi lain dia begitu hangat. Berhari-hari aku hanya memikirkannya sambil sesekali tersenyum di bawah bantal merah mudaku.

2 hari kemudian..
Aku mengembalikan payung dan jamper miliknya sambil tersenyum manis dan berterimakasih. Namun, seperti halnya 2 hari yang lalu dia hanya menjawabnya dengan kalimat singkat lalu meninggalkan aku yang masih berdiri beku. Tidak ada balasan untuk senyumku yang sudah ku persiapkan sejak kemarin sambil berdiri berjam-jam di depan kaca. Yang aku rasakan saat itu adalah ingin meruncingkan tandukku dan menyeruduknya hingga terjatuh berguling-guling di atas lumpur. “Makhluk apa itu?” kekesalanku memuncak
Setelah itu aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Hanya sebuah surat yang menjawab beberapa pertanyaanku.

Dari: seseorang ketika hujan di hari rabu

Hujan pertama di hari rabu,
Di balik sendu aku melihatmu tersenyum membisu,
kau hirup dalam-dalam oksigen di sekitar, dengan kelopak tertutup.. lalu, berteriak dengan kerasnya “Hujan... bawa dukaku”.
Kemudian.. kamu menari-nari tanpa alas kaki
 di balik tangis dewi langit, ku pastikan tak ada duka dalam garis wajahmu.
Kamu terus menari..tak perduli pada beberapa gadis remaja seusiamu yang menatap dengan tawa terpingkal-pingkal.
Aku hanya tersenyum kemudian memalingkan muka, mencoba tak memperdulikan tingkah laku mu.

Hujan kedua di hari rabu
Ku lihat sinar yang mulai redup di balik matamu
Kamu berlari ke sana kemari, lalu berteriak “aaaaaaaaaaaa” dengan penuh kebencian.
Aku mulai ingin tau siapa yang membuatmu begitu membenci hari rabu yang seminggu lalu telah membawa dukamu pergi jauh..
Kamu menangis terisak, jatuh terduduk.. tanganku menggapaimu namun tak mampu..
Dan seperti telah kecewa, hujan tak lagi datang di hari rabu..
Tak ada hujan di hari rabu..
tak ada lagi gadis yang menari dengan bertelanjang kaki..
tak ada lagi kebahagiaan menyambut hujan hari rabu..
tak ada lagi kemarahan menantang hujan hari rabu..
tak ada lagi kamu yang melunturkan kabut luka ku,

ku perbarui jadwalku..
setiap pagi di kantin itu kulihat tawamu menjadi tawaku
begitupun dukamu..
setiap tetes air matamu adalah ribuan anak panah yang menghujam jantungku..
aku semakin tak bisa lepas dari kebiasaanku,
kamu memang tak mengenalku, tapi aku mengenalmu lebih dari aku mengenal diriku sendiri. Hanya dengan duduk di sisi yang tak terjangkau oleh matamu, aku mendapatkan segala tentangmu.
Aku sangat mengenal caramu berjalan, menyapa setiap orang yang mungkin kau kenal dengan bibir mengatup. Aku mengenal tawamu yang selalu datang dan kadang-kadang terlihat kau buat-buat,kau paksakan untuk menutupi dukamu. Akupun mengenal kemarahanmu tiap kali melihat lelaKi itu..
Begitulah aku selama setahun ini.. memastikan senyumku akan selalu datang dari senyummu.

Dan hujan ketiga di hari rabu akhirnya datang..
Di hari itu lah.. aku ingin kamu tau di sini selalu ada aku..
Baru saja ketika aku berusaha memperkenalkan namaku.. aku tercekat dan terpasung dalam rasa yang baru aku sadari telah terlampau jauh.
Dan akhirnya aku hanya terdiam,,
sesaat ketika aku telah melangkah menjauhi sosokmu yang berdiri di pohon besar dekat halte, aku mulai marah dengan ketidak kuasaanku saat berada di dekatmu.
“sial..”pikirku saat itu
Aku punya banyak waktu untuk mengenal pribadimu, atau mungkin benar-benar mengenalmu. Namun, telah aku sia-siakan.
 Seharusnya setiap pagi aku tak perlu lagi mencari tempat yang agak tertutup untuk selalu menjagamu. Seharusnya aku duduk tepat di sampingmu sambil membawakan sarapan pagi kesukaanmu.
 Aku ingin seperti mereka, punya kuasa untuk memanggilmu “cha..” dan mengusap-usap kepalamu lalu berlari meninggalkanmu bersama kekesalan yang mendalam. Namun, aku tak pernah mampu melakukan semua itu..
Dan kini, waktu ku telah habis sebelum akhirnya kamu mengenalku.
Setelah kamu membaca surat memalukan ini, kamu tak akan menemukanku di hari rabu ketika hujan turun dengan derasnya.
Lewat surat ini, aku ingin kamu tau..
Aku Rama..Dan aku menyukaimu sejak setahun lalu...

          Ya.. itulah yang dia berikan sebelum akhirnya kembali ke kota kelahirannya. Dan sejak saat itu aku selalu menanti hujan  di hari rabu..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

 
;