mata itu... ya..mata indah tanpa lensa kaca. Sama hitamnya dengan warna lensa mata masyarakat Indonesia pada umumnya. Hanya saja bola mata itu terlihat begitu hitam dan terlihat lebih bundar. Sungguh membuat tatapan matanya begitu tajam, galak namun jika dilihat lebih seksama memancarkan sesuatu yang berbeda. Sayangnya keindahan itu membawaku pada kenyataan yang buruk, bahwa sesuatu yang datang tidak akan selalu tinggal. Dan sesuatu yang datang itu sebenarnya hanya ingin singgah sebentar kemudian pergi untuk melanjutkan perjalanan.Disitu, pertama kalinya aku melihat sepasang
Karena nantinya semua itu akan ku perlihatkan dan akan kuceritakan pada anak cucuku bahwa, aku pernah mencintai seseorang sepenuh hati. Meski, aku di sakiti berulang kali. Akan ku ajarkan pada mereka untuk tak memberi suatu janji jika nantinya mereka belum tentu dapat menepati. Dan akan ku tanamkan pada diri mereka sikap menyayangi seseorang yang juga menyayangi di sini, di dekat lubang yang dulu dia ciptakan sebagai kenangan bahwa dia pernah mengendalikan tiap langkah hidupku. Tidak akan pernah aku menutup lubang itu. Walaupun rasanya pahit,perih, hingga membuat kantong air mataku semakin kering. Aku yang terlalu bodoh dan angkuh. Berkali-kali Ica mengingatkanku untuk tak terlalu dekat dengan Rama. Namun, sama sekali tak aku hiraukan tiap nasehat darinya. Kini, semua telah benar-bemar hilang. Janji,cinta, bahkan sosoknya lenyap tak tersisa. Namun, sungguh bayangan,kenangan, dan tiap rasa yang ku miliki masih benar-benar sama. Letaknya tetap
“nad,” bentak Ica membuyarkan lamunanku
“hemh” ku jawab seadanya
“kenapa? Inget rama? Jangan diinget-inget lagi. Toh Rama udah melupakan semuanya. Bahkan di hari ulang tahun kamu dia masih sama cueknya.”
Dulu, waktu masih sama-sama dia nggak pernah inget kok. Apa lagi sekarang?” balasku, setengah meringis saat mengatakannya.“iya, aku tahu. Dia pasti lupa.
“keterlaluan banget! Udah ah, cepetan pesen makanan. Niat traktir enggak sih? 15 menit lagi belnya bunyi. Kalau kita telat masuk kelas, nanti Pak Rahmadi ngomel. Terus, jangan lupa nanti sepulang sekolah ke rumahku.”
“iya.” Jawabku menutup pembicaraan.
Sudah 22 pesan masuk di telepon selular milik ku untuk sekedar mengucapkan selamat ulang tahun dan memberi doa. Bahkan sudah 42 orang mengucapkannya secara langsung. Namun, seseorang yang sangat aku harapkan untuk mengucapkannya sepertinya lupa atau mungkin ingat tapi sama sekali tak perduli. Ya, sama sekali tidak. Kalaupun dia perduli, tentu sejak beberapa bulan lalu dia sudah menanyakan keadaanku atau paling tidak tersenyum di hari terakhir kita bertemu. Di sebuah gedung sederhana, dalam suasana bahagia sekaligus haru, pada acra perpisan sekolah.Yang tahu seperti apa suasana hatiku saat itu, hanyalah aku. Bahkan dia pun tidak mungkin dapat memahaminya. Sungguh, saat itu aku merasa bahwa itu dalah hari terakhirku bertemu dengannya, menatap matanya, mendengar suaranya, dan melihat senyumnya. Tapi pikirku salah, di sana aku hnaya dapat bertemu dengannya. Tidak bisa menatap matanya, mendengar suaranya dan melihat senyumnya. Menyakitkan… sepulang dari acara itu aku hanya mengurung diri dikamar.
“Mama sama adik kamu kemana ca?” tanyaku penasaran karena melihat rumah Ica kosang tak berpenghuni.
“Ke rumah ibuku” jawabnya singakat dari balik tembok yang memisahkan antara ruang tamu dan kamar tidur. Ibu adalah panggilan kepada neneknya (ibu dari mamanya).
Aku melangkah menuju teras rumah yang tentunya teras rumah Ica. Dari teras rumah aku melihat sebuah warnet (warung internet) dengan Café di depannya. Aku tersenyum kemudian mengalihkan pandangan. Semenit kemudian aku kembali memandang tempat itu. Di depannya ada sebuah sofa berwarna cream yang sungguh dulu sangat nyaman ketika ku duduki. Aku mengajak Ica untuk ke sana. Di sana aku duduk di kursi itu. Rasanya berbeda, tidak snyaman yang dulu. Kenapa? Apa karena yang disampingku hanyalah Ica bukan Rama? Aku tersenyum untuk kedua kalinya.
“adek?” sebuah suara yang sangat aku kenal
Batinku. Semenit kemudian.. dari pintu warnet keluar seorang anak manusia berjenis kelamin laki-laki (jangan Tanya darimana aku mengetahuinya) memakai kaos berwarna biru dengan banyak jerawat di wajahnya dan dengan mata itu… mata hitam pembawa malapetaka (mungkin). Aku gelagapan, dan memutuskan beranjak dari tempat itu. Sebelum dia yang sekarang berjalan meninggakan warnet menuju ke tempatku.“hai!” Jawabku singkat. Aku bingung harus berkata apa karena, sungguh yang ada di hadapanku saat ini adalah Risqi. Sahabat Rama sekaligus tetangga rama.
“Lho, mau kemana dek?” Tanya Risqi
“Ya…mau kerumahnya Ica. Kita maun ngerjain tugas.” Jawabku seadanya
“itu.. ada Rama. Kamu nggak pengen ketemu?” tanyanya dengan nada menekan pada kalimat PENGEN KETEMU.
“enggak” jawabku berbohong. Jantungku berdetak lebih cepat, aku ingin cepat-cepat pergi dari tempat ini. Laki-laki itu semakin dekat.
“Ris, ayo pulang.” Kata lelaki itu.
Jarak ku dan jaraknya hanya beberapa senti jadi, sangat bisa ku rasakan hawa dingin dari tubuh lelaki itu. Aku hnaya diam membisu. Seperti ada tembvok tinggi di antara kita berdua (aku dan laki-laki dingin ini). Sampai-sampai dia tidak menyadari keberadaanku. Dia terus saja bercakap-cakap dengan Risqi dan membiarkan aku bersama Ica terdiam di belakaang punggung Risqi.
“Nad, kita pulang dulu ya!” kata Risqi membuyarkan keheninganku dan Ica.
Kemudiaan risqi melangkah pergi bersama lelaki itu. Ica menatap mereka garang kemudian..
“Rama…” teriaknya
Lelaki itu menoleh menyadari namanya di sebut-sebut.
“nggak ada yang kelupaan?” tambahnya
“apa?” jawab Rama heran
“kamu nggak bener-bener lupa kan?” sepertinya Karena penasaran Rama akhirnya mendekati kami berdua
“Nadya..hari ini ulang tahun.” kata Ica menjelaskan
aku langsung mencubit tangan Ica. Aku rasa dia tidak perlu mengingatkan Rama kan hal itu.
“oh ya? Selamat ya!” ucap rama sambil menjabat tanganku
Ternyata benar-bemar lupa.
“terimakasih” jawabku singkat
Bahagia? Ku rasa aku tak sedang merasakannya. Yah.. dia memang memberiku ucapan selamat. Tapi, itu Karena Ica mengingatkan.
“kalian disini aja dulu sama kita. Tenang aja Nadya yang traktir kok.” Kata Ica pada Rama dan Risqi
“hemh..boleh juga. Nah karena kursinya Cuma 2 jadi, aku sama Ica di dalam aja. Ok?” kata Risqi
Tanpa menuggu jawaban dari ku dan Rama, mereka sudah meninggalkan kami berdua.
Tak ada suara…..
1menit 2 menit 3 menit dan akhirnya baru menit ke 4 dia mulai memecahkan es yang saat ini ada di diri kami masing-masing.
“udah dapet ucapan selamat dari siapa aja?” tanyanya basa-basi
“Yang jelas bukan dari kamu” hatiku bergumam sendiri
“banyak.. udah 42 orang.” Jawabku menyindir
“wah..banyak juga. Kok bisa pada inget gitu ya?”
“Yaeyalah mereka kan bukan kamu.” Jawabku tanpa suara
“kamu, kok nggak kayak dulu? Sekarang jadi pendiem gini.” Tanyanya lagi
“bodoh banget sih! Gimana aku bisa kayak dulu, kalau sekarang aja kamu nggak kayak dulu. Emang siapa kamu? Mau diperhatiin terus tapi, malah cuek sama orang.” Gumamku lagi
“kok diem?” lanjutnya
“pengen diem aja. Nggak boleh?” jawabku ketus
“nggak boleh lha! Di sini kan ada aku. Masak diem terus?”
“aku diem buat hemat energy tau!” balasku sekenanya
“hemat atau pelit? Kenapa harus di hemat?” tanyanya lagi. Membuatku benar-benar ingin mencakar wajahnya.
“karena energiku tinggal setengah, cuma buat nahan bayangan masa lalu supaya nggak terus menghantui aku.” jelasku
“emang masih inget?” katanya dengan sedikit senyum
Aku hanya diam tak menjawab. Jengkel sekali melihat senyuman itu. Mengingatkan aku senyum meremehkannya 8 bulan lalu saat dia berhasil menjatuh bangunkan aku.
“seberapa inget?” tanyanya lagi
Namun lagi-lagi tidak aku jawab
“pasti lupa ya! Kenapa semudah itu?” tambahnya
“Kenapa semudah itu? Enak saja dia berbicara. Bahkan sampai saat ini aku masih meletakkan semuanya pada tempat yang sama. Dia tidak sadar pada dirinya sendiri bahwa sampai saat ini dia lah yang bisa melupakan semuanya dengan begitu mudah hanya dengan tiupan lembut sang angin.” Lagi-lagi aku menggumam dalam hati
“kenapa kamu tanya seperti itu? Sedangkan kamu sendiri telah melakukanya. Dengar baik-baik..
18 November, terucap sebuah janji yang selalu membuat aku bermimpi bahkan hingga saat ini. 14 Desember, aku mengaku lumpuh di depanmu.12 November, harusnya kamu ingat saat itu pertama kalinya kita mulai mengenal.
28 Desember, kamu menyakiti aku untuk pertama kali. Yang kemudian dilanjutkan pada hari-hari berikutnya. Sampai 22 Mei kita benar-benar berpisah. Namun baru pada tanggal 28 Mei aku merasakan perpisahan yang sebenarnya. Dan pada tanggal itu lah kita terakhir bertemu. Sepertinya aku juga harus mengingatkan mungkin kamu lupa pada tanggal lahirmu sendiri. Kamu dilahirkan pada tanggal 9 November. Dan satu lagi… ulang tahunku bukan hari ini tapi, 2 hari yang lalu. Hari ini aku baru bisa bertemu dan mentraktir Ica karena 2 hari kemarin aku merayakan ulang tahunku di rumah Nenek. Saat ini aku baru sadar, ternyata kamu benar-benar tidak mengingat sedikitpun tentang aku. Dengan mudah kamu percaya pada Ica bahwa hari ini hari ulang tahunku. Seharusnya kamu tahu, pada 2 hari itu aku sangat mengharapkan memori pikiranmu berfungsi dengan baik. Tidak perlu mengucapkan apapun, aku hanya ingin kamu sekedar ingat. Tapi, ternyata kamu memang tidak mengingatnya.” Jawabku dengan kesal
Dia hanya diam..
“terima kasih karena hari ini telah mengingatkan aku, bahwa menunggu kamu ingat secuil tentang aku sama halnya dengan menunggu seribu lilin padam secara bersamaan.” Lanjutku
Aku pergi sambil menutup mataku dengan telapak tangan. Dan, kali ini hujan turun bersama rintik air mataku.