Rabu, 14 Maret 2012 0 komentar

PANGERAN TARA

Tara, ya mereka memanggilnya Tara. Tapi aku? Ku sebut dia Pangeran.. “Pangeran Tara”.
“SUBHANALLAH” gumamku dalam hati, ketika aku melihat mata nya adalah mata ku, senyum nya adalah senyum ku, dan duka nya adalah duka ku. Entah bagaimana semua ini dapat terjadi.. yang pasti aku seperti melihat diriku sendiri saat aku melihat dia.
Aku bukanlah seorang puteri, aku hanyalah sebatang pohon yang selalu ingin menjadi tempat nya berteduh.
Saat mentari mulai tak bersahabat, aku ingin berlari menghampiri nya. Menghalau teriknya mentari agar peluh tak menetes membasahi senyumannya. Tapi, aku hanyalah sebatang pohon tanpa kaki.
Saat hujan turun deras membasahi raga nya, aku ingin melindungi nya. Menangkal tetesan air yang jatuh agar dia tak beku. Tapi, aku hanyalah sebatang pohon tanpa tangan.
Tapi itu tidak lah menjadi sebuah masalah untuk Pangeranku.. karena dia telah memiliki segalanya. Yang bisa aku lakukan sekarang hanya melihatnya dari jauh untuk sekedar memastikan bibirnya masih melengkungkan sebuah senyuman.. senyum terindah yang dia punya..
……………………………………………………………………………………….
“Na..” teriak seseorang memanggilku
“iya..” jawabku sambil menoleh ke sumber suara
“pangeran!” gumamku dalam hati
Ya.. seseorang itu adalah pangeran, pangeranku… Pangeran yang tak bisa ku miliki.
Dia berlari sambil menenteng tasnya, rambutnya bergerak seirama dengan langkah kakinya. Dia semakin dekat..dan.. “dug..dug..dug” jantungku berdetak lebih cepat dari biasanya. Aku gelagapan, ku rasakan keringat dingin mengucur di dahiku.
Langkahnya semakin dekat dan kini lututku mulai lemas, hampir saja aku jatuh terduduk dibuatnya. Dia tersenyum tapi aku malah tercengang. Senyumnya sangatlah manis, dan saat ini ku rasakan tubuhku telah membeku.
Aku ingin cepat bangun dari keadaan ini. Tiba-tiba saja kakiku memilih melangkah menjauhinya.
“lho, na! tunggu..” pintanya sambil memegang tangan kiriku, agar aku menghentikan langkah.
“hua…” teriakku kegirangan dalam hati
“eh, kamu udah bikin naskah drama buat kelompok kita kan?” tanyanya sambil mengusap keringat di dahinya.
Dan.. lagi-lagi aku membeku.
“E..e..e.. be..u..dah..” jawabku gelagapan
“yaudah.. ntar aku liat ya! Sekarang aku lagi buru-buru. Duluan ya Na!” katanya sambil beranjak pergi meninggalkan aku bersama senyumannya yang kini mulai menari-nari di pikiranku.
Aku sering mendengar orang-orang berkata bahwa melihat bunga sakura bermekaran di musim semi adalah hal terindah yang pernah mereka lihat. Tapi untukku, melihat senyuman pangeran adalah hal terindah. meskipun aku sendiri belum pernah melihat bunga sakura. Menurutku, hal seindah apapun tidak akan pernah bisa menjadi indah jika sesuatu yang indah tersebut tidak dapat dirasakan  oleh orang-orang yang kita sayangi.
Dan aku.. hanya mematung. Beberapa detik memandang tangan kiriku dan beberapa detik kemudian melihat punggung pangeran yang terlihat semakin jauh.
……………………………………………………………………………………....
“Na.. tangan kiri kamu kenapa? kok kamu perban gitu?” tanya Ratih keheranan
“nggak apa-apa kok. Kemarin kena pecahan kaca.” Jawabku sekenanya
“ah.. andai saja kamu tahu, pangeran baru saja memegang tanganku ini. Dan aku tidak ingin semuanya hilang begitu saja.” Lanjutku dalam hati. Aku mulai terkekeh..
Sepanjang menit ku pandangi tanganku. Ku ucap syukur berkali-kali.
“Na.. aku liat naskah dramanya dong!” kata Rio
“Iya.. ambil aja di meja.” Jawabku
Dan aku kembali memandangi tanganku..
5 menit kemudian….
“Ha? Pangeran Tara? Jadi, selama ini Nana…” teriak Rio dari dalam kelas
Aku kaget.. pikiranku langsung tertuju pada diary milikku.
“tolol!” aku menghujat diriku sendiri. Aku baru menyadari kalau tadi aku belum sempat memasukkannya ke dalam tas. Dan sekarang.. semua orang tau.
Aku langsung berlari ke dalam kelas, meminta Rio mengembalikannya padaku. Tapi Rio tidak perduli, dia tetap membacanya keras-keras. Aku semakin panik… teman-temanku menertawakan aku. Tawa yang sangat-sangat mengejek. Ku lihat dibalik jendela pangeran menuju kelas. Aku terisak.. ini tidak boleh terjadi. pangeran tidak boleh tau. Aku memohon tapi, semuanya tak menghiraukan. Aku tertunduk pasrah ketika sedetik kemudian pangeran sudah berada di depanku.
“hahaha.. ini dia. Pangeran Tara!” teriak Rio
Dan lagi-lagi semuanya menertawakan aku. Menganggap semua ini adalah lelucon terhebat yang pernah mereka saksikan.
Pangeran yang baru saja masuk kelas tentu mulai keheranan. Rio melanjutkan tingkah usilnya, aku semakin malu dibuatnya.
Aku tidak berani menatap pangeran. Aku malu, takut.. pasti dia akan membenci dan marah padaku.
“apa-apaan sih! Itu khan Cuma naskah drama, kalian semua jangan gitu dong.. kasian Nana.” Katanya
“naskah? Masak si?” tanya Rio tak percaya
“iya.. kan aku sama Nana satu kelompok. Ya kan Na?” kata pangeran memastikan
“iya..” jawabku berbohong
“o.. gitu. Maaf ya na!” kata Rio
“iya.. nggak apa-apa.” Jawabku
“kalian ini ada-ada aja. Mana mungkin Nana suka sama aku. Kita kan teman..” kata pangeran
“dug..”
Seperti ada ribuan anak panah menusuk hatiku. Sakiit sekali ketika pangeran menegaskan perasaannya. “kita kan teman..” ya.. 1 kalimat kejujuran yang sebenarnya aku sudah tau tapi belum bisa aku terima sepenuhnya.
“terima kasih ya na..” kata Pangeran.
“apa?” tanyaku
“karena aku seorang pangeran. Tapi, maaf.. kita teman.” Lanjutnya
Tiba-tiba air mataku menetes deras tak bisa ku hentikan. Ya.. aku tahu. Aku hanya lah akan menjadi sebatang pohon untukknya. Tapi, aku menikmatinya.. aku akan tetap berdiri di sini menjadi sebatang pohon meski pohon itu akan lapuk tergerus oleh waktu. Aku akan bertahan.. semampu ku….
Selengkapnya - PANGERAN TARA
0 komentar

HUJAN DI HARI RABU

Aku masih terpaku memandangi lampu kota terbangun dari tidurnya, ketika beberapa sinar mengintip dari jelega gulita.
“Hari ini indah” katanya
kemudian dia tertawa ketika melihat rintik hujan terus bergelayutan manja dalam dekapan angin yang jelas-jelas tengah membelai manja rambutku. Akupun hanya bisa tersenyum dalam dekapannya. Ku bisikkan pada mereka tentang segala rasaku..
ketika hujan di hari rabu memperkenalkanku pada sesuatu yang dapat ku gambarkan dengan satu kalimat yang tak dapat dimengerti. Kemudian mereka memintaku untuk menceritakan tentang hari itu..
aku tertawa geli melihat mereka tampak tak sabar mendengar sesuatu keluar dari mulutku.. aku pun mencoba mengingatnya, mengingat hari itu...

hujan turun deras ketika baru saja ku langkahkan kaki meninggalkan gerbang sekolah yang menjulang tinggi. Aku mempercepat langkah kaki menuju sebuah halte di seberang jalan. Namun ketika aku telah sampai di depannya, aku hanya dapat mengerutkan dahi karena tempat itu telah di penuhi oleh anak-anak sekolah,ibu-ibu,bapak-bapak dan segala macam barang yang mereka bawa.
Tiba-tiba saja ada yang menarik tanganku dan mengajakku berlari ke suatu tempat tak jauh dari halte. Ketika kami berlari, aku hanya dapat memandangi punggungnya basah terjamah oleh hujan siang ini.
Sesaat kemudian aku telah sampai dalam lindungan sebuah pohon besar. Lega rasanya ketika merasakan hanya ada beberapa tetes air saja yang dapat menjangkau tubuhku. Kuusap bajuku yang basah dengan sapu tangan pemberian almarhummah nenek tersayang, hasilnya cukup membantu mengeringkan. Ku lihat hujan hari ini turun dengan derasnya, seperti sedang marah padaku.
Hemh..Hampir saja aku melupakan seseorang di sampingku. Ku lirik perlahan raut wajahnya..
“matanya, hidungnya,mulutnya.. apa aku mengenalnya? Sepertinya tidak” pikirku
Ku lirik lagi untuk memastikan, namun masih sama.. aku yakin aku tidak mengenalnya.
aku menunggunya mengatakan sesuatu, tapi 15 menit berdiri di tempat ini tidak membuatnya ingin mencairkan suasana. Dia beranjak dari tempatnya berdiri dan menggeser tempatnya untukku. Ya.. ku rasakan tetesan air dari langit tak menyentuhku lagi.
“terimakasih..” gumamku dalam hati
“aku Rama, kelas XI IA 2.” Akhirnya, dia berbicara
Hampir saja aku menganggapnya manekin yang sedang kabur dari pemiliknya. Ternyata dia hanya seorang siswa kelas sebelah.
“o.. aku Icha, kelas XI IA 4.” Kataku
“ya.. aku tau.” Jawabnya singkat
“kamu tau?” tanyaku heran
Tidak ada jawaban, dia hanya terdiam dan sedikit tersenyum. Aku yakin bukan sedikit, tapi sedikit sekali dan hampir tidak tersenyum.
“ terimakasih ” kataku
“ya!” jawabnya singkat. Kemudian kembali dalam kediamannya lagi.
“menyebalkan..” pikirku
Lama.... terdiam sampai akhirnya dia berlari menantang ganasnya hujan yang tengah mengintaiku.
Aku semakin kesal di buatnya, lelaki yang menyebut dirinya “Rama” itu. Masih terus ku pandangi hingga dia tertelan tikungan di ujung jalan.
Ketika kedua bola mata ini tertuju pada sesuatu, kekesalanku berangsur hilang. Sebuah payung dan jamper tergeletak tak berdaya di tempat laki-laki tadi berdiri. Ada sebuah kertas di atasnya.. huruf demi huruf ku coba artikan.
Tulisannya begini.. “cepet di balikin !! ”
aku tersenyum dan segera memakainya lalu pergi.
Di sepanjang perjalanan aku hanya memikirkan tentang lelaki itu. Sikapnya membuatku hampir terkena hepotermia. Sangat...sangat dingin. Tapi di sisi lain dia begitu hangat. Berhari-hari aku hanya memikirkannya sambil sesekali tersenyum di bawah bantal merah mudaku.

2 hari kemudian..
Aku mengembalikan payung dan jamper miliknya sambil tersenyum manis dan berterimakasih. Namun, seperti halnya 2 hari yang lalu dia hanya menjawabnya dengan kalimat singkat lalu meninggalkan aku yang masih berdiri beku. Tidak ada balasan untuk senyumku yang sudah ku persiapkan sejak kemarin sambil berdiri berjam-jam di depan kaca. Yang aku rasakan saat itu adalah ingin meruncingkan tandukku dan menyeruduknya hingga terjatuh berguling-guling di atas lumpur. “Makhluk apa itu?” kekesalanku memuncak
Setelah itu aku tak pernah bertemu dengannya lagi. Hanya sebuah surat yang menjawab beberapa pertanyaanku.

Dari: seseorang ketika hujan di hari rabu

Hujan pertama di hari rabu,
Di balik sendu aku melihatmu tersenyum membisu,
kau hirup dalam-dalam oksigen di sekitar, dengan kelopak tertutup.. lalu, berteriak dengan kerasnya “Hujan... bawa dukaku”.
Kemudian.. kamu menari-nari tanpa alas kaki
 di balik tangis dewi langit, ku pastikan tak ada duka dalam garis wajahmu.
Kamu terus menari..tak perduli pada beberapa gadis remaja seusiamu yang menatap dengan tawa terpingkal-pingkal.
Aku hanya tersenyum kemudian memalingkan muka, mencoba tak memperdulikan tingkah laku mu.

Hujan kedua di hari rabu
Ku lihat sinar yang mulai redup di balik matamu
Kamu berlari ke sana kemari, lalu berteriak “aaaaaaaaaaaa” dengan penuh kebencian.
Aku mulai ingin tau siapa yang membuatmu begitu membenci hari rabu yang seminggu lalu telah membawa dukamu pergi jauh..
Kamu menangis terisak, jatuh terduduk.. tanganku menggapaimu namun tak mampu..
Dan seperti telah kecewa, hujan tak lagi datang di hari rabu..
Tak ada hujan di hari rabu..
tak ada lagi gadis yang menari dengan bertelanjang kaki..
tak ada lagi kebahagiaan menyambut hujan hari rabu..
tak ada lagi kemarahan menantang hujan hari rabu..
tak ada lagi kamu yang melunturkan kabut luka ku,

ku perbarui jadwalku..
setiap pagi di kantin itu kulihat tawamu menjadi tawaku
begitupun dukamu..
setiap tetes air matamu adalah ribuan anak panah yang menghujam jantungku..
aku semakin tak bisa lepas dari kebiasaanku,
kamu memang tak mengenalku, tapi aku mengenalmu lebih dari aku mengenal diriku sendiri. Hanya dengan duduk di sisi yang tak terjangkau oleh matamu, aku mendapatkan segala tentangmu.
Aku sangat mengenal caramu berjalan, menyapa setiap orang yang mungkin kau kenal dengan bibir mengatup. Aku mengenal tawamu yang selalu datang dan kadang-kadang terlihat kau buat-buat,kau paksakan untuk menutupi dukamu. Akupun mengenal kemarahanmu tiap kali melihat lelaKi itu..
Begitulah aku selama setahun ini.. memastikan senyumku akan selalu datang dari senyummu.

Dan hujan ketiga di hari rabu akhirnya datang..
Di hari itu lah.. aku ingin kamu tau di sini selalu ada aku..
Baru saja ketika aku berusaha memperkenalkan namaku.. aku tercekat dan terpasung dalam rasa yang baru aku sadari telah terlampau jauh.
Dan akhirnya aku hanya terdiam,,
sesaat ketika aku telah melangkah menjauhi sosokmu yang berdiri di pohon besar dekat halte, aku mulai marah dengan ketidak kuasaanku saat berada di dekatmu.
“sial..”pikirku saat itu
Aku punya banyak waktu untuk mengenal pribadimu, atau mungkin benar-benar mengenalmu. Namun, telah aku sia-siakan.
 Seharusnya setiap pagi aku tak perlu lagi mencari tempat yang agak tertutup untuk selalu menjagamu. Seharusnya aku duduk tepat di sampingmu sambil membawakan sarapan pagi kesukaanmu.
 Aku ingin seperti mereka, punya kuasa untuk memanggilmu “cha..” dan mengusap-usap kepalamu lalu berlari meninggalkanmu bersama kekesalan yang mendalam. Namun, aku tak pernah mampu melakukan semua itu..
Dan kini, waktu ku telah habis sebelum akhirnya kamu mengenalku.
Setelah kamu membaca surat memalukan ini, kamu tak akan menemukanku di hari rabu ketika hujan turun dengan derasnya.
Lewat surat ini, aku ingin kamu tau..
Aku Rama..Dan aku menyukaimu sejak setahun lalu...

          Ya.. itulah yang dia berikan sebelum akhirnya kembali ke kota kelahirannya. Dan sejak saat itu aku selalu menanti hujan  di hari rabu..
Selengkapnya - HUJAN DI HARI RABU
0 komentar

SELEMBAR SURAT MERAH

Seperti Mentari tenggelam termakan gulita malam, begitulah akhir cinta yang dulu sempat ku genggam... yang ku kira sekuat air mata seorang ibu untuk anaknya.. setulus kayu yang rela terbakar untuk kehidupan sang api, dan sesetia merpati menunggu kekasihnya kembali..
tapi dia bukan seorang ibu,bukan sebatang kayu, bukan juga burung merpati.

aku tak bermaksud menelan ludahku sendiri.. hanya saja ketika aku melihat barisan kata manis tercipta begitu indah dan luar biasa itu bukan untukku, aku pun mulai meleleh seperti lilin yang termakan api.. api cemburu. Seingatku, ketika bersamaku dia tak semanis itu,tak semerindu itu,tak sebahagia itu.
 Ku kira aku yang paling berarti, paling mengerti, dan yang paling di tunggu.. dan aku pun membusungkan dada. Ku katakan pada setiap hasrat yang ku temui, “dia begitu tulusnya menyayangiku..dan aku selalu bersalah atas sesuatu yang aku lakukan ataupun tidak aku lakukan kepadanya. Dan aku bangga pernah memilikinya.”
Tapi semua itu sepertinya salah..

Aku menyesal tlah membuatmu menangis...
Dan biarkan memilih yang lain...
Tapi jangan pernah kau dustai takdirmu..
Pasti itu terbaik untukmu
Janganlah lagi kau mengingatku kembali..
Aku bukanlah untukmu..

barisan lyrik yang indah itu semakin menyiksaku.. menjatuhkan aku kedalam jurang kesakitan yang lebih jauh. Ini semua bukan tentangnya.. hanya tentang aku. Aku yang ingin dia menjadi seperti apa yang aku mau.. aku yang kemudian meninggalkannya agar dia belajar menjadi apa yang aku mau. Tapi dia semakin jauh, dan tak terjangkau. Hingga aku berada dititik ini.. titik yang pernah ku lalui dulu.. sama, ketika dengannya juga.
Aku memandang zona kehidupan yang telah ku lalui, aku yakin ini sama.. dan untuk apa aku bergigih mengembalikanya di hidupku (seperti yang ku lakukan dulu) jika akhirnya akan seperti ini lagi.. bukan untuk yang kedua kali.. melainkan ketiga kali. Lalu? Untuk apa?
Sempat aku berkeyakinan dia yang akan mendampingi hari tuaku, menjadi ayah dari anak-anakku, tapi itu hanya sebuah khayalan yang terlalu jauh bagi anak se-usiaku. Ketika itu aku sangat yakin Tuhan memilihkan dia untukku.. mungkin keyakinanku salah..
Aku ingin menahan setiap langkahnya dan berteriak, “jangan melangkah!!! Aku mohon!!!”. Tapi lagi-lagi untuk apa? Untuk akhir yang sama atau untuk menyakitinya dan menyakiti diri sendiri? Tidak! Aku akan berhenti cukup sampai disini. Akan ku kubur dalam-dalam setiap nafsu dan egoku atasnya. Kan aku biarkan dia mengepakkan sayapnya lebar-lebar kemudian memetik sekuntum bunga yang paling indah untuknya. Yang lebih mampu menjaganya, dari aku... karna dia ya dia... tak akan bisa menjadi seperti yang aku mau. Dan dia juga berhak memilih cintanya.. cinta barunya itu..
Maka hanya selembar surat merah ini yang dapat ku beriakan untuknya...

“Untukmu,
Hey! nakal ya.. ngerokok lagi.. ah.. kok gitu si? Selama ini terpaksa ya?? Hehehe
Maaf ya.. jahat banget aku. Padahal kan kata orang mencintai itu gag boleh ngerubah orang yang kita cintai jadi apa yang kita mau. Iya nggak? Ehehehe
Oke lah kalau begitu... :D
Yah.. walaupun aku sedikit..sedikit banget kok... ngerasa kecewa(maaf) kamu kembali ke kehidupan kamu yang dulu. Tapi, nggak apa lha.. hehehe
Itu kan hidup kamu, iya nggak sih?
Em.. makasih ya.. satu yang gak aku lupa dari kamu.”kedewasaan kamu waktu aku punya masalah.” Nggak nyangka loo kamu bisa gitu :P
Jaga kesehatan baik-baik ya... udara malem nggak baik buat kesehatan tau... walaupun itu satu-satunya hiburan buat kamu..tapi nggak ada salahnya kan menjaga kesehatan. Lebih penting...tau! biarpun kata kamu.”RUMAHKU NERAKAKU”.. tapi disana ada seseorang yang sangat menyayangi kamu. Yang kata kamu nggak pernah adil dan nggak sayang sama kamu. Kan, surga ditelapak kaki ibu tuh, jadinya ya jangan gitu! Ok?
Ahaha, ini sih coretan nggak penting.. tapi lumayanlah buat mengungkapkan isi hati.
Yang belum sempat aku ucapkan, “Terimakasih.. sempat hadir dihidupku.”
Ehehehehe...
Sekali lagi terimakasih ya!!


Ya.. itulah sepenggal surat merah untuk sebuah cerita abu-abu. Setelah malam datang.. mentari tidak akan pernah lupa bersinar kembali. Dan kesedihan ini sudah sepantasnya  untuk seorang yang bersalah atau bisa dibilang yang merasa bersalah..
Ini masa mudaku...ini cerita indah untuk hari tuaku..
Terimakasih telah memberikan aku kesempatan untuk merasakan menjadi seseorang yang paling berarti.
Selengkapnya - SELEMBAR SURAT MERAH
 
;